DIFTERI

Difteri adalah suatu penyakit yang telah ditemukan sejak abad ke 5 sebelum masehi oleh Hipokrates. Penyakit ini memiliki manifestasi pada infeksi saluran pernapasan atas maupun infeksi pada bagian kutaneus atau kulit. Penyakit difteri disebabkan oleh adanya infeksi suatu bakteri gram positif dan bersifat aerobik, yaitu Corynobacterium diphtheria. Orang-orang yang rentan terkena infeksi adalah mereka yang tidak menjalani imunisasi secara lengkap atau oleh karena rendahnya kadar antibodi yang ada pada orang tersebut. Selain itu orang-orang yang kesehatannya buruk, kondisi tempat tinggal yang kurang bersih, dan tempat tinggal yang padat atau banyak orang akan berisiko terinfeksi,[1]

Kejadian penyakit difteri kembali mewabah di Indonesia. Menurut data kementrian kesehatan terdapat 95 kabupaten dan kota dari 20 provinsi melaporkan kejadian difteri. Keseluruhan terdapat 622 kasus dan 32 diantaranya meninggal dunia.[6] Pada provinsi DKI Jakarta terdapat 22 kasus, Jawa Barat terdapat 123 kasus dengan 13 kematian dan Banten 63 kasus dengan 9 kematian.

Penyebaran difteri adalah melalui droplet hasil pernapasan atau lewat udara. Hal ini akan memudahakan penyebaran melalui batuk maupun bersin dari penderita ke orang lain yang tidak terinfeksi. Selain itu, penyebaran juga dapat melalui kontak dengan luka sang penderita dan kontak terhadap benda yang terdapat bakteri difteri.[3]

Difteri memiliki waktu inkubasi atau waktu dimana penderita sudah terinfeksi bakteri namun belum meunjukkan gejala selama 2-5 hari.[1] Toksin atau racun yang dihasilkan oleh bakteri tersebut akan merusak jaringan sistem pernapasan penderita. Jaringan yang rusak tersebut kemudian akan menjadi jaringan mati yang tebal berwarna keabuan pada tenggorokan atau hidung. Bentukan inilah yang disebut denga pseudomembran sehingga akan menyebabkan sulit dalam bernapas dan sulit menelan.[4]  Gejala yang akan dialami penderita adalah demam sekitar 38oC[2], kelelahan, sakit tenggorokan, sakit kepala, pembengkakkan kelenjar getah bening pada bagian leher, terbentuknya pseudomembran (seperti membran/membrane semu), kesulitan menelan, kesulitan napas dan batuk.[1] Pada difteri kunatenus (difteri pada kulit), akan dijumpai titik-titik yang berisi nanah pada kulit, seringkali pada kaki dan tangan. Titik-titik maupun bentolan berisi cairan akan membentuk suatu luka atau ulserasi (luka/lesi terbuka berbentuk seperti kawah). Luka tersebut akan sembuh dalam 2 sampai 3 bulan.[2]

Bertambahnya racun dalam tubuh dapat mengakibatkan masuknya racun kedalam system sirkulasi. Racun ini akan menyebar didalam tubuh, namun tidak memiliki target spesifik. Akan tetapi, otot jantung dan system saraf tepi biasanya menjadi bagian yang terkena efeknya paling keras [7]

Mendiagnosis penyakit difteri adalah dengan mengumpulkan gejala-gejala yang telah disebutkan diatas dan ditambah dengan beberapa pemeriksaan lainnya. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangbiakkan bakteri pada media atau disebut dengan kultur, selain itu dapat dilakukan dengan mengidentifikasi adanya produk toksin. Kultur dilakukan dengan sampel yang diperoleh dari swab (pengambilan sampel dengan menyeka bagian yang dicurigai berisi sampel bakteri) hidung, pseudomembran, kripta tonsil, atau luka pada kulit. Kultur dilakukan untuk menemukan bakteri penyebab penyakit difteri. Selain itu dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah lengkap, yaitu akan diperoleh jumlah leukosit yang meningkat. Pemeriksaan urin juga dapat dilakukan untuk melihat adanya proteinuria atau adanya protein pada darah.[1]

Penanganan penyakit ini apabila darurat yaitu dengan mengamankan jalur pernapasan yang mengalami gangguan pernapasan akibat adanya pseudomembran. Hal ini untuk mencegah hipoksia atau kurangnya pasokan oksigen dalam jaringan. Kemudian lanjutkan pemeriksaan pernapasan dan sirkulasi darah dengan melihat aktivitas ritmis jantung. Setelah itu, lanjut dengan pemberian antibiotik seperti eritromisin atau penisilin untuk mengeradikasi atau menghilangkan bakteri.[1] Antibiotik dikonsumsi selama 14 hari dan apabila masih ditemukan bakteri difteri maka lanjutkan pengobatan selama 10 hari.[1,2] Pada difteri kutaneus, pengobatan yang dilakukan adalah mencuci luka yang terinfeksi dengan sabun dan air.[2]

Pencegahan terjadinya infeksi bakteri difteri adalah vaksinasi. Vaksinasi difteri diberikan pada usia 2 bulan, 4 bulan, dan 6 bulan. Kemudian dapat divaksinasi kembali pada usia 4-6 tahun.[5] Ketika remaja sebaiknya dilakukan vaksinasi kembali untuk menguatkan daya tahan tubuh.

 

[1]        https://emedicine.medscape.com/article/782051-clinical#b5

[2]        https://www.nhs.uk/conditions/diphtheria/symptoms/

[3]        https://www.cdc.gov/diphtheria/about/causes-transmission.html

[4]        https://www.cdc.gov/diphtheria/about/symptoms.html

[5]        https://www.cdc.gov/vaccines/parents/downloads/parent-ver-sch-0-6yrs.pdf

[6]        http://www.bbc.com/indonesia/majalah-42215042

[7]        https://academic.oup.com/jid/article/181/Supplement_1/S116/837949