Sindrom hiperventilasi atau dyspnea nerveus sering ditemukan pada berbagai kasus gawat darurat. Sebenarnya apasih sindrom hiperventilasi itu?. Sindrom hiperventilasi didefinisikan sebagai suatu keadaan ventilasi berlebihan yang menyebabkan perubahan hemodinamika dan kimia sehingga menimbulkan berbagai gejala. Gejala sindrom hiperventilasi dan gangguan panik saling tumpang tindih. Gejala hiperventilasi ditemukan pada 50% pasien dengan gangguan panik dan 60% pasien agorafobia.

Menurut Newton E (2005), sindrom hiperventilasi dapat terjadi secara akut maupun kronis. Mekanisme yang menyebabkan terjadinya hiperventilasi belum jelas diketahui. Saat ini diketahui bahwa stresor tertentu dapat menyebabkan hiperventilasi. Beberapa hal yang dapat menyebabkan sindrom ini antara lain distres emosional, natrium laktat, kafein, isoproterenol, kolesistokinin dan karbondioksida. Secara psikologis penyebab sindrom ini adalah perubahan pernapasan, yang dinamakan dengan “sindrom pernapasan nervous” yang biasanya disebabkan oleh faktor emosional/stress psikis. Terdapat 2 jenis pernapasan yang dapat ditemukan, yaitu : a). Pernapasan yang tidak teratur yang dianggap sebagai pengutaraan rasa takut yang khas; b). Pernapasan yang dangkal diselingi dengan penarikan napas dalam, sebagai pengutaraan situasi pribadi yang bersifat keletihan dan pasrah, yaitu pertanda tujuan tidak dapat dicapai.

Pada pasien hiperventilasi mereka bernapas terutama dengan dada dan hampir tidak menggunakan diafragma. Seseorang yang bernapas dengan torakal mempunyai PCO2 di bawah 40 mmHg. Pada sindrom hiperventilasi, ventilasi yang bertambah tidak sebanding dengan pertukaran gas, ventilasi yang bertambah disebabkan oleh frekuensi pernapasan yang tinggi. Pada analisis gas darah arteri terdapat alkalosis respirasi dengan berkurangnya PCO2.

Dengan turunnya PCO2 terjadi perubahan-perubahan sekunder sebagai berikut :

  1. Alkalosis respirasi dengan penurunan kalsium ion serum; fosfat organik, dan ion magnesium.
  2. Hiperekstiabilitas saraf dan otot dengan gejala-gejal tetani (parestesia, fenomen Chvostek dan Trousseau, spasme karpopedal, kejang tangan kaki, tangan obstetrik), disebabkan akibat pergeseran ion-ion, yaitu berkurangnya ion kalsium dan magnesium.
  3. Perubahan perdarahan regional. Pada hiperventilasi akut menyebabkan peredaran darah di otak berkurang yang dapat menyebabkan pre-kolaps atau bahkan jatuh pingsan. Juga peredaran darah di kulit berkurang sehingga suhu kulit menurun, dan timbul akrosianosis.
  4. Aktivitas simpatik, hiperventilasi merangsang simtem simpatik, hingga terjadi kenaikan nadi dan terjadi perubahan EKG.

Adapun gejala klinik terjadinya sindrom hiperventilasi diantaranya yaitu :

  1. Parestesia, gejala yang sangat khas yaitu keluhan seperti kesemutan pada tangan dan kaki terutama pada jari-jarinya. Yang paling khas adalah jari-jari tangan pada pasien akan menguncup dan lentik. Sering juga pasien mengeluhkan gatal, menggelitik di sekitar mulut, terutama pada bibir dan lidah.
  2. Gejala-gejala sentral, sering kali terjadi gangguan-gangguan penglihatan, perasaan seperti melayang dan penglihatan kabur yang dikenal dengan blurry eyes. Pasien juga sering mengeluh bingung, sakit kepala dan pusing.
  3. Keluhan pernapasan, biasanya pasien mengeluhkan sesak napas walaupun tanda hiperventilasinya tidak jelas. Tidak jarang ada takipnea, tetapi sering ditutupi dengan berulang-ulang menarik napas panjang, menguap dan mendengus, kadang-kadang dengan batuk kering terpotong-potong.
  4. Keluhan jantung, hiperventilasi tidak jarang disertai dengan keluhan yang menyerupai angina pektoris.
  5. Keluhan umum, seringkali pasien mengeluh tentang tangan dingin, hampir selalu merasa lelah, lemas, megantuk dan sangat sensitif terhadap cuaca.

Adapun gejala-gejala yang biasanya muncul saat terjadi serangan akut yaitu pasien merasa takut dan gelisah dengan pernapasan cepat tak teratur. Jari tangan, kaki dan tungkai terasa seperti mati. Jantung berdebar-debar, dispnea dan rasa tertekan di dada yang membuat pernapasan menjadi lebih cepat dan dalam, agar tidak tercekik. Bibir tidak terasa, mulut sulit digerakkan, muka terasa tegang. Pasien sering mengeluhkan pusing, menekan di kepala dan epigastrum, sendawa, mual, mulut kering, dan tak bertenaga.

Penyebab paling sering untuk hiperventilasi ialah emosi rasa takut dan kegelisahan. Freud menyebutkan bahwa gejala-gejala neurosis juga dengan gangguan pernapasan, yang dinamakan dyspnea nerveus. Menurut Hoff, dkk. Pasien dengan sindrom hiperventilasi tidak memecahkan konflik psikis, melainkan hanya dapat menarik napas dalam-dalam. Pernapasan yang cepat menjadi jawaban atas rasa sakit, kemarahan atau takut, yang menurut Hoff menjadi faktor terpenting sebagai faktor timbulnya sindrom ini. Pada perkembangan penyakit yang lebih lanjut keluhan pernapasan akan timbul dalam setiap situasi yang tidak enak. Walaupun 95% pasien-pasien yang menderita sindrom ini bersifat psikis (Schettler) namun pada tiap-tiap hiperventilasi harus dicari kemungkinan penyakit organik lain.

Adapun beberapa penanganan yang bisa dilakukan baik itu penanganan awal maupun penanganan yang lebih advance.

  1. Pasien bisa melakukan pernapasan dengan kantong plastik bila didapatkan tanda alkalosis agar PCO2 dalam darah naik.
  2. Suntikan 10 cc larutan kalsium glukonas 10% intravena mempunyai efek placebo. Pasien akan merasa lebih baik, tetapi kadar ion kalsium tidak akan naik.
  3. Belajar bernapas torako-abdominai dengan menggerakkan diafragma saat bernapas.
  4. Psikoterapi, membantu menyelesaikan masalah-masalah emosional pada pasien, termasuk melakukan terapi perilaku (Cognitive Behavioral Therapy).
  5. Hiperventilasi sering merupakan bagian dari serangan panik maka pemberian obat yang tepat yaitu benzodiazepine atau golongan SSRI dapat dilakukan.

References :

  1. Newton E. Hyperventilation syndrome. Emedicine [serial online] last updated April 15 2005 (Cited 2005 Jun 22).
  2. Cowley DS, Roy-Byrne PP. Hyperventilation and panic disorder. Am J Med. 1987;83: 929-37.
  3. Lum LC. Hyperventilation syndromes in medicine and psychiatry: A review. J Royal Soc med. 1987;80:229-31.
  4. Sukatman D, Budihalim S. Aspek psikomatik gangguan pernapsan. In:Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III, edisi ketiga, edior : Suyono S dkk, Jakarta:BP FKUI; 2001.p.730-7.
  5. Mudjaddid E., Rudi Putranto, Hamzal Shatri. Sindrom Hiperventilasi. Scan by dr. Suvianto H.L.2009;222:930-31.